PRODI DAMAI DAN RESOLUSI KONFLIK, FAKULTAS KEAMANAN NASIONAL, UNIVERSITAS PERTAHANAN RI MELAKSANAKAN KULIAH PAKAR DENGAN TEMA “PENANGANAN KONFLIK AGRARIA DAN TENURIAL HUTAN ADAT DI INDONESIA”

PRODI DAMAI DAN RESOLUSI KONFLIK, FAKULTAS KEAMANAN NASIONAL, UNIVERSITAS PERTAHANAN RI MELAKSANAKAN KULIAH PAKAR DENGAN TEMA “PENANGANAN KONFLIK AGRARIA DAN TENURIAL HUTAN ADAT DI INDONESIA”

By On Monday, April 01 st, 2024 · no Comments · In

Jakarta- Prodi Damai dan Resolusi Konflik, Fakultas Keamanan Nasional, Universitas Pertahanan RI telah sukses melaksanakan Kuliah Pakar dengan tema “Penanganan Konflik Agraria dan Tenurial Hutan Adat di Indonesia” yang dipandu oleh moderator Kolonel Ckm Dr. Achmed Sukendro, S.H., M.Si., sebagai Kaprodi Damai dan Resolusi Konflik pada hari Rabu, 27 Maret 2024, melalui aplikasi Zoom dari Kampus Pascasarjana Universitas Pertahanan RI di Jl. Salemba Raya No. 14, RT.3/RW.6, Kenari, Kec. Senen, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10430.

Mengawali Kuliah Pakar mengenai Penanganan Konflik Agraria dan Tenurial Hutan Adat di Indonesia Kolonel Ckm Dr. Achmed Sukendro, S.H., M.Si. memperkenalkan kedua narasumber yang masing-masing akan membahas tentang permasalahan konflik tenurial dipandang dari instansi yang berbeda. Dalam kesempatan kali ini terdapat dua narasumber yaitu, Arif Rachman, S.I.K., M.T.CP., selaku Direktur Pencegahan dan Penanganan Konflik Pertanahan Direktorat Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Kemudian Ir. Muhammad Said, M.M., selaku Direktur Penanganan Konflik, Tenurial dan Hutan Adat, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Penyampaian materi yang pertama yaitu dari Brigjen Pol Arif Rachman, S.I.K., M.T.CP, yang menjelaskan Bagaimana strategi sekaligus langkah-langkah konkret yang dilakukan terkait penyelesaian konflik pertahanan yang telah sedang dan akan dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN. Secara personalia, Arif Rachman merupakan organik yang berada di bawah Mabes Polri yaitu di bareskrim Mabes Polri.  Beliau ditugaskan oleh bareskrim untuk bergabung dengan Kementerian ATR/BPN  dalam rangka mencegah konflik, penanganan konflik sekaligus memberantas mafia tanah yang masih sangat marak. Pencegahan dan penyelesaian kasus Pertanahan tahun 2024 yang dikerjakan untuk menangani Konflik Pertanahan terkait dengan tiga pokok yang pertama adalah; Percepatan pendaftaran Pertanahan, Penyelenggaraan konflik Pertanahan, Reformasi agraria serta pemberantasan mafia tanah. Permasalahan kasus atau pengaduan di bidang agraria yang disampaikan kepada ATR/BPN ternyata perlu klaterisasi yang berdasarkan tiga kelompok yaitu; sengketa, konflik, dan perkara. Pada tahun 2018 sampai sekarang, ada 14.000 konflik, 9980 sengketa dan  28.000 perkara. Data dari pusat dan kanwil melalui berbagai channel yaitu loket pengaduan langsung tertulis dan seterusnya sampai layanan yang bersifat online. Pada tahun 2023 Direktorat pencegahan penanganan konflik pertanahan atau PPKP, yang pertama penanganan konflik, yang kedua kejahatan

Berdasarkan pemaparan yang disampaikan, daerah dengan tingkat konflik tertinggi berada di Sumatera Utara dan Jawa Timur.  Faktor-faktor yang mendorong konflik ini antara lain pertambahan penduduk yang terus meningkat sementara luas lahan tidak bertambah.  Selain itu, nilai ekonomi tanah yang semakin tinggi serta keberadaan sentra-sentra pertambangan dan perkebunan memicu perebutan kepemilikan lahan. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengambil langkah aktif untuk menangani konflik tersebut.  Beberapa upaya yang dilakukan termasuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) Anti-Mafia Tanah.  Satgas ini bertujuan untuk memberantas praktik mafia tanah yang kerap menjadi aktor intelektual dibalik konflik agraria. Selain itu, Kementerian ATR/BPN menerapkan Peraturan Menteri ATR/BPN No. 21 Tahun 2020 sebagai acuan dalam penanganan konflik.  Langkah lainnya adalah penanganan secara terpadu di wilayah rawan konflik.  Melalui tim khusus, Kementerian melakukan penelitian dan pengkajian terhadap akar permasalahan konflik.  Koordinasi intensif dengan instansi terkait seperti kepolisian dan kejaksaan juga menjadi bagian penting dalam upaya penanganan konflik. Menariknya, presentasi ini memaparkan pendekatan sosial kapital sebagai salah satu strategi penyelesaian konflik.  Pendekatan ini menekankan pentingnya membangun rasa memiliki bersama terhadap tanah, memperkuat jaringan komunikasi antar pihak terkait, dan meningkatkan rasa saling percaya serta hormat.  Selain itu, konsep integrasi pengetahuan juga menjadi strategi yang diusung.  Konsep ini mendorong pemanfaatan pengetahuan lokal, nasional, dan global secara terpadu untuk mencari solusi terbaik. Upaya penanganan konflik tidak bisa dilakukan secara sektoral.  Dalam presentasi tersebut, dijelaskan langkah-langkah konkret yang telah diambil untuk menangani mafia tanah.  Langkah tersebut meliputi penetapan harga tanah yang wajar, pelaksanaan rapat koordinasi lintas sektoral, dan pembentukan Satgas Anti-Mafia Tanah. Upaya tersebut membuahkan hasil yang cukup signifikan.  Pada tahun 2023 saja, Satgas berhasil mengungkap 86 laporan polisi terkait mafia tanah, menangkap 159 tersangka, serta mengembalikan aset negara dan masyarakat seluas 80 juta meter persegi.  Selain itu, potensi kerugian negara akibat mafia tanah diperkirakan mencapai Rp 13,2 triliun.

Pada tahun 2023, Kementerian ATR/BPN bersama penegak hukum berhasil memberantas mafia tanah dan menyelamatkan potensi kerugian negara senilai lebih dari 13 triliun rupiah. Sebuah pencapaian luar biasa dalam upaya membangun dan menjawab tantangan mafia tanah. Beliau juga menjelaskan dalam kurun waktu beberapa hari lalu, Satgas Anti-Mafia Tanah bekerja sama dengan Polda Jawa Timur menangkap 5 pelaku mafia tanah di Banyuwangi dan Pamekasan. Modusnya adalah dengan mengajukan permohonan pemisahan sertifikat dengan menggunakan surat kuasa palsu dari ahli waris. Akibat ulah para mafia tanah ini, negara dirugikan sebesar 17 miliar rupiah dari 29 sertifikat SKM yang diterbitkan. Menteri ATR/BPN Agus Harimurti Yudhoyono menegaskan akan menindak tegas oknum BPN yang terlibat mafia tanah dan mendorong penyelesaian kasus mafia tanah di Banyuwangi.

Kemudian dilanjutkan oleh Ir. Muhammad Said, M.M., selaku Direktur Penanganan Konflik, Tenurial dan Hutan Adat, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Beliau menyatakan bahwa kawasan hutan Indonesia, seluas 63% dari daratannya, menjadi arena berbagai aktivitas manusia. Aktivitas ini, seperti budidaya, pertambangan, dan pemukiman, seringkali berbenturan dan menimbulkan gesekan antar pihak dengan sudut pandang dan kepentingan yang berbeda. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengatasi ketimpangan dan konflik di kawasan hutan. Salah satunya adalah dengan menargetkan 12,7 juta hektar kawasan hutan untuk dikelola oleh masyarakat. Saat ini, 17% kawasan hutan telah dikelola oleh masyarakat, dan diharapkan mencapai 30% pada tahun 2030. Dalam mewujudkan pengelolaan penanganan konflik di kawasan hutan dilakukan dengan berbagai cara, seperti dialog, penegakan hukum, reformasi kebijakan, dan penguatan koordinasi antar pihak. Konflik ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti tumpang tindih izin, perambahan hutan, dan lemahnya penegakan hukum. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menangani konflik di kawasan hutan. Upaya ini meliputi identifikasi dan verifikasi konflik, penyelesaian melalui dialog dan musyawarah, pemberian akses legal kepada masyarakat, penegakan hukum, reformasi kebijakan, dan koordinasi antar pihak. Beberapa peraturan telah dibuat untuk mendukung upaya penanganan konflik ini, seperti Undang-undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, Peraturan Menteri LHK Nomor 83 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Konflik Tenurial di Kawasan Hutan, dan Peraturan Menteri LHK Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyelesaian Pengaduan Masyarakat di Bidang Kehutanan.

Kemudian beliau menyampaikan bahwa Hutan adat, dengan luas mencapai 14,9 juta hektar atau 33% dari total luas hutan di Indonesia, memainkan peran vital dalam kehidupan masyarakat adat dan kelestarian lingkungan. Tersebar di berbagai pulau, konsentrasi terbesarnya berada di Papua (5,8 juta ha), Kalimantan Utara (4,3 juta ha), dan Sumatra (3,2 juta ha), menjadi rumah bagi 57 juta masyarakat adat dari berbagai kelompok etnis. Meskipun diakui dan dilindungi undang-undang, seperti UUD 1945, UU Kehutanan, dan UU 23/2014, hingga akhir tahun 2023, baru 103 wilayah adat yang ditetapkan oleh Menteri LHK dengan total luas 244.195 ha. Ironisnya, masih ada 40 juta hektar wilayah adat yang belum diakui, memicu berbagai konflik dengan pihak lain.Konflik ini, dipicu oleh tumpang tindih izin dan kebijakan, perambahan hutan, lemahnya penegakan hukum, dan kurangnya pengakuan hak-hak masyarakat adat, mengakibatkan kerusakan lingkungan, kemiskinan masyarakat adat, dan pelanggaran hak asasi manusia. Upaya penanganan konflik melalui identifikasi, verifikasi, dialog, pemberian akses legal, penegakan hukum, reformasi kebijakan, dan koordinasi antar pihak terkait terus dilakukan. KSP/KSP, melalui Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Kelompok Kerja Nasional Percepatan Pengelolaan Reforma Agraria, memimpin upaya ini.

Diskusi berjalan interaktif dengan pertanyaan dan tanggapan dari peserta yang memperkaya diskusi dengan tambahan-tambahan poin yang mencerahkan sehingga dalam Kuliah Pakar dengan tema “Penanganan Konflik Agraria dan Tenurial Hutan Adat di Indonesia” Prodi Damai dan Resolusi Konflik Unhan RI Tahun 2024, terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan yaitu: 1) Mafia tanah masih menjadi masalah serius dan perlu terus diberantas. Sehingga perlu dan penting untuk meningkatkan sinergi dan koordinasi antar pihak terkait, serta edukasi kepada masyarakat agar tidak menjadi korban mafia tanah. 2) Keyakinan menyelesaikan konflik dan mewujudkan pengelolaan kawasan hutan yang berkelanjutan, harus tetap diupayakan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat dapat terjaga. 3) Permasalahan seperti tumpang tindih izin dan kebijakan, perambahan hutan, lemahnya penegakan hukum, dan kurangnya pengakuan hak-hak masyarakat adat, harus segera ditangani supaya tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan, kemiskinan masyarakat adat, dan pelanggaran hak asasi manusia.

Moderator menutup sesi diskusi dan dengan menekankan bahwa hutan adat, dengan peran vitalnya dalam menjaga kelestarian lingkungan dan identitas budaya masyarakat adat, seringkali menjadi arena konflik agraria dan tenurial. Hanya dengan mengedepankan prinsip keadilan, keberlanjutan, dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat, kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai. Kuliah Pakar diakhiri dengan pemberian sertifikat kepada Brigjen Pol Arif Rachman, S.I.K., M.T.CP, dan Ir. Muhammad Said, M.M. oleh Dekan Fakultas Keamanan Nasional Mayjen TNI Dr. Ir. Pujo Widodo, S.E., S.H., S.T., M.A., M.Si.,  M.D.S., M.Si (Han).

 

We usually reply with 24 hours except for weekends. All emails are kept confidential and we do not spam in any ways.

Thank you for contacting us :)

Enter a Name

Enter a valid Email

Message cannot be empty