Jakarta, 15 Oktober 2025 —Universitas Pertahanan Republik Indonesia melalui Fakultas Keamanan Nasional (FKN) melanjutkan kegiatan Kuliah Kerja Luar Negeri (KKLN) 2025, yang diikuti oleh seluruh program studi di bawah naungan fakultas. Kegiatan KKLN ini menjadi wadah akademik bagi mahasiswa untuk memperdalam pemahaman tentang diplomasi, keamanan regional, dan peran ASEAN dalam menjaga perdamaian berkelanjutan.
Sebagai bagian dari rangkaian tersebut, Program Studi S2 Damai dan Resolusi Konflik (DRK) melaksanakan hari kedua sesi akademik internasional bertema “Strategic Policy of Malaysia’s ASEAN Chairmanship 2025 for Sustainable Peace: The Integration of Humanitarian Approaches in Regional–Global Conflict Mediation Efforts.”
Kegiatan ini menghadirkan dua narasumber internasional dari Malaysia yang memberikan pandangan strategis mengenai masa depan perdamaian kawasan ASEAN. Narasumber pertama, Dr. Julia Roknifard, Senior Lecturer dari Taylor’s University, Malaysia 🇲🇾, membawakan topik “Malaysia’s Strategic Vision of Peace: National Interest and ASEAN Chairmanship 2025 Framework.” Dalam pemaparannya, Dr. Julia menyoroti bagaimana Malaysia berupaya menyeimbangkan kepentingan nasional dan tanggung jawab regional dalam kepemimpinannya sebagai Ketua ASEAN 2025. Beliau menegaskan bahwa ASEAN centrality harus dijaga di tengah dinamika global yang multipolar, dengan menempatkan diplomasi, dialog, dan netralitas sebagai prinsip utama kebijakan luar negeri Malaysia.
Selain itu, Dr. Julia juga menyinggung berbagai isu regional yang menjadi fokus Malaysia, seperti konflik Thailand–Kamboja, krisis Myanmar, hingga kebijakan luar negeri terhadap Palestina, serta partisipasi Malaysia dalam forum global seperti BRICS dan RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership). Menurutnya, tantangan terbesar bagi ASEAN saat ini adalah bagaimana mengintegrasikan pendekatan kemanusiaan (humanitarian approaches) dalam diplomasi regional tanpa mengorbankan stabilitas politik kawasan. 🌍🤝
Sesi berikutnya menghadirkan Dato’ Dr. Ilango Karuppannan, Adjunct Senior Fellow RSIS Singapore dan mantan Duta Besar Malaysia 🇲🇾, yang membawakan topik “Conflict Sensitivity and Humanitarian Diplomacy in Cambodia and Thailand: Malaysia’s Regional Engagement.” Dalam paparannya, Dr. Ilango menjelaskan konsep conflict sensitivity sebagai kesadaran terhadap dampak kebijakan dan tindakan terhadap dinamika konflik yang berlandaskan tiga pilar utama: context, interaction, dan minimizing harm. Ia menekankan bahwa dalam konteks ASEAN, pendekatan kemanusiaan (humanitarian-first) harus menjadi fondasi utama dalam setiap proses diplomasi regional.
Kedua narasumber sepakat bahwa perdamaian tidak lahir dari ketiadaan
Sebagai contoh konkret, Dr. Ilango mengulas peran Malaysia dalam menangani sengketa perbatasan Thailand–Kamboja, yang memiliki akar sejarah dan nasionalisme kuat di kedua negara. Ia menegaskan bahwa Malaysia mengambil peran sebagai mediator netral dengan menggunakan prinsip musyawarah, empati, dan backchannel diplomacy untuk membangun kepercayaan antarnegara. Menurutnya, diplomasi kemanusiaan bukan sekadar upaya teknis penyelesaian konflik, tetapi juga refleksi dari moral integrity dan tanggung jawab regional. 🤝🕊️
konflik, melainkan dari kemampuan negara-negara di kawasan mengelola perbedaan dengan kemanusiaan, dialog, dan integritas. Kegiatan akademik hari kedua ini memberikan pemahaman strategis dan empiris bagi mahasiswa DRK Unhan RI tentang hubungan antara kebijakan luar negeri, diplomasi kemanusiaan, dan pembangunan perdamaian berkelanjutan di kawasan ASEAN.
Acara ditutup dengan sesi tanya jawab interaktif dan foto bersama narasumber serta peserta, sebagai simbol kolaborasi akademik lintas negara dan komitmen bersama dalam memperkuat jejaring pengetahuan internasional.