Jakarta, 22 September 2025 – Program Studi Hukum Keadaan Darurat (HKD), Fakultas Keamanan Nasional, Universitas Pertahanan Republik Indonesia (Unhan RI), menyelenggarakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) bertema “Diskursus Aplikatif Hukum Keadaan Darurat di Tengah Gejolak Ancaman terhadap Negara”. Acara yang berlangsung di Kampus Pascasarjana UNHAN RI Salemba ini dilaksanakan secara hybrid (offline dan online melalui Zoom Meeting), dengan jumlah peserta sebanyak 87 orang, terdiri atas 50 peserta offline dan 37 peserta online. Kegiatan tersebut digelar sebagai upaya meningkatkan kapasitas akademik dan menumbuhkan dialog kebijakan dalam menjawab kompleksitas ancaman keamanan terhadap negara yang dihadapi saat ini.
Wakil Dekan FKN Unhan RI, Marsma TNI R.A. Purwoko, membuka kegiatanya dengan menekankan pentingnya pembahasan hukum keadaan darurat di tengah dinamika politik nasional yang diwarnai polarisasi dan potensi konflik horizontal maupun tantangan situasi politik global. Menurut beliau, banyak kondisi yang dirasakan sebagai kedaruratan tengah dihadapi negara, mulai dari ketegangan politik hingga tantangan keamanan kontemporer. Beliau mengingatkan bahwa penetapan keadaan darurat tidak boleh dianggap sebagai kekosongan hukum. “Hukum keadaan darurat bukan ruang kosong tanpa aturan,” tegasnya, merujuk pada Pasal 12 UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menyatakan keadaan bahaya serta membatasi hak-hak tertentu. Beliau juga berharap FGD ini dapat menghasilkan kontribusi nyata dari Unhan RI dalam merumuskan regulasi hukum darurat yang aman, proporsional akuntabel, dan berlandaskan Hak Asasi Manusia (HAM).
Sebelum sesi pemaparan dimulai, kegiatan dipandu oleh Weko Satya Guntoro, Mahasiswa Program Studi HKD Cohort I, yang berperan sebagai moderator dan memastikan jalannya diskusi berlangsung tertib dan interaktif.
FGD ini menghadirkan dua narasumber utama. Pemateri pertama adalah Prof. Dr. Fitra Arsil, S.H., M.H., Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia. Prof. Arsil mengulas pentingnya reformasi regulasi keadaan darurat dalam kerangka konstitusi. Ia menyoroti bahwa UU No. 23/Prp/1959 tentang Keadaan Bahaya saat ini tidak sesuai prinsip konstitusional karena proses legislasi dilakukan setelah deklarasi darurat. DPR selama ini hanya menerima atau menolak perppu secara keseluruhan, tanpa ruang untuk revisi konstruktif. Upaya menyusun RUU Keadaan Bahaya sempat dirintis tahun 1998 namun terhenti akibat resistensi politik pasca-reformasi. Akibatnya, Indonesia masih menggunakan regulasi lama yang usang dan tidak sejalan dengan prinsip demokrasi modern. Prof. Arsil juga mencontohkan negara demokratis (Inggris, Kanada, AS) yang telah mengganti rezim daruratnya dengan undang-undang baru yang lebih akuntabel, mengedepankan pengawasan legislatif dan judicial review. Menutup paparannya, ia menegaskan, “Hukum darurat adalah bagian dari konstitusional. Reformasi regulasi darurat merupakan kebutuhan mutlak untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan menjaga keberlangsungan demokrasi.”
Narasumber kedua, Dr. Margaretha Hanita, S.H., M.Si., Ketua Program Studi Doktoral Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, membahas mekanisme penetapan darurat dalam konteks krisis keamanan. Dr. Hanita menyoroti bahwa keadaan darurat sering kali membuka potensi penyalahgunaan kekuasaan seperti pembatasan kebebasan sipil, penahanan oposisi, sensor media, dan eskalasi konflik aparat-masyarakat. Ancaman keamanan di masa depan bersifat multidimensi, mencakup dimensi militer (perang siber, ruang angkasa) maupun non-militer (terorisme, krisis ideologi, guncangan sosial-budaya). Beliau menekankan perlunya kekuatan institusional yang lebih besar, khususnya peran parlemen dan pengadilan, dalam mengawasi kebijakan darurat agar tetap akuntabel. Sebagai penutup, Dr. Hanita mengingatkan, “Ketahanan nasional tidak dapat dibangun dengan mengorbankan HAM. Negara harus hadir sebagai pelindung, bahkan dalam situasi paling krisis sekalipun.”
Sesi diskusi berlangsung aktif dan konstruktif. Para peserta yang sebagian besar mahasiswa Program Studi HKD Cohort I dan Cohort II mengajukan pertanyaan kritis seputar implementasi hukum darurat, antara lain terkait penanganan konflik di Papua, peran TNI dalam penugasan Operasi Militer Selain Perang (OMSP), penyebab regulasi terkait kedaruratan bersifat sektoral, serta perlunya mekanisme batas waktu dan persetujuan legislatif dalam deklarasi darurat. Poin-poin tentang pembaruan UU lama dan keseimbangan antara stabilitas keamanan dengan perlindungan HAM mengemuka dalam sesi tanya jawab, mencerminkan tingginya antusiasme peserta terhadap isu strategis ini.
Sebagai bentuk apresiasi, Fakultas Keamanan Nasional Unhan RI menyerahkan plakat penghargaan kepada kedua narasumber. Penyerahan dilakukan secara simbolis oleh Wakil Dekan FKN, Marsma TNI R.A. Purwoko, yang sekaligus menutup kegiatan secara resmi.
Melalui kegiatan FGD ini, diharapkan terbangun ruang reflektif dan solutif dalam merumuskan regulasi hukum darurat yang adaptif terhadap ancaman multidimensi. Para peserta memperoleh pemahaman yang komprehensif mengenai hubungan antara hukum, HAM, dan ketahanan nasional dalam konteks kedaruratan. Kegiatan ini juga mempertegas komitmen Program Studi HKD FKN Unhan RI dalam berkontribusi secara akademik terhadap pengembangan sistem hukum nasional yang tangguh dan responsif terhadap krisis.