Jakarta, 14 Oktober 2025 – Sebuah diskusi yang mendalami hubungan antara Nusantara dan Tiongkok diselenggarakan dengan menyoroti dua perspektif utama: akar historis sengketa maritim dan kemitraan strategis di era modern. Dr. Adinda Natassa Valentine Hutabarat, seorang diplomat Indonesia dan sinolog, bersama Pan Yue, Peneliti dari School of International Relations, Jinan University, menyajikan analisis mendalam dari sudut pandang sejarah dan geopolitik kontemporer.
Dalam sesi bertajuk “InterState Dispute: Historic Maritime? (Nusantara’s Srivijaya Kingdom & China’s Tang Dynasty)”, Dr. Adinda Hutabarat menekankan pentingnya menelusuri kembali hubungan maritim kuno, khususnya pada masa Kerajaan Sriwijaya dan Dinasti Tang, untuk memahami sengketa saat ini. Ia menegaskan bahwa isu-isu seperti Nine-Dash Line (NDL), Laut Tiongkok Selatan, dan Laut Natuna Utara tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah. “Setiap negara harus menjaga wilayahnya masing-masing,” kutip Dr. Adinda dari naskah klasik abad ke-10, seraya mengingatkan bahwa sejarah kerap digunakan secara selektif untuk membenarkan kebijakan modern. Diskusi ini merupakan bagian pertama dari rangkaian Brainstorming Series on Reality and History.
Dari perspektif geopolitik modern, Pan Yue dalam presentasinya yang berjudul “Hubungan Tiongkok dengan Indonesia dan Asia Tenggara,” menyoroti posisi Indonesia yang semakin strategis dalam peta ekonomi dan politik Tiongkok. Menurutnya, Asia Tenggara, dengan Indonesia di dalamnya, memiliki nilai strategis karena lima dimensi utama: posisi geografis, kekuatan ekonomi yang berkembang, konektivitas regional melalui inisiatif Belt and Road Initiative (BRI), stabilitas politik, serta dimensi historis dan kultural.
Pan Yue menguraikan bahwa tujuan diplomatik Tiongkok terhadap Indonesia mencakup pembangunan Kemitraan Strategis Komprehensif, menjamin keamanan jalur maritim, integrasi ekonomi, kerja sama infrastruktur, penguatan hubungan antarwarga (people-to-people ties), dan koordinasi dalam isu-isu global. Untuk mencapai tujuan tersebut, Tiongkok menggunakan berbagai instrumen seperti diplomasi tingkat tinggi, investasi langsung, diplomasi budaya, hingga kerja sama di bidang teknologi digital dan lingkungan.
Kedua pembicara, melalui lensa yang berbeda, memberikan gambaran komprehensif mengenai kompleksitas hubungan kedua negara. Dr. Adinda mengajak untuk membaca sejarah secara kritis sebagai kunci membangun masa depan yang damai, sementara Pan Yue memaparkan kerangka kerja sama strategis yang ada saat ini beserta tantangan dan prospeknya ke depan.
Sebagai penutup refleksinya, Dr. Adinda menyatakan, “Kejelasan dan interpretasi menjadi kunci. Dalam memahami sejarah, kita tidak hanya menatap masa lalu, tetapi menata arah masa depan”.