Jakarta, 15 Oktober 2025 – Program Studi Keamanan Maritim, Fakultas Keamanan Nasional Universitas Pertahanan Republik Indonesia (UNHAN-RI), menyelenggarakan kuliah pakar internasional bertema “Kebijakan dan Strategi Maritim Dalam Mendukung Keamanan Nasional.” Kegiatan ini diselenggarakan secara hibrid pada Rabu, 15 Oktober 2025, bertempat di Mini Lab Keamanan Maritim dan terhubung melalui platform daring. Dihadiri oleh 20 peserta yang terdiri atas mahasiswa keamanan maritim, kepala program studi dan staff keamanan maritim, serta dua narasumber.
Kuliah pakar ini menghadirkan dua narasumber utama (1) Dr. Johanes Herlijanto, Dosen Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan dan Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) dan (2) Dr. Mohd Hazmi bin Mohd Rusli, Associate Professor pada Faculty of Syariah and Law, Universiti Sains Islam Malaysia (USIM), Visiting Scholar pada MGIMO University Rusia dan Institute of China and Contemporary Asia Russian Academy of Sciences; serta anggota Royal Malaysian Navy Volunteer Reserve.
Narasumber pertama, Dr. Johanes Herlijanto, Dosen Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan dan Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) memaparkan materi berjudul Recent Developments in Sino–Indonesian Relations, dengan menekankan bahwa hubungan kedua negara Indonesia dan Tiongkok telah berkembang pesat sejak 1990, namun tetap dilingkupi tantangan strategis.
Poin-poin utama paparan beliau antara lain:
• Kerja sama ekonomi antara Indonesia dan Tiongkok semakin erat, terutama melalui Belt and Road Initiative (BRI) dan proyek strategis nasional seperti Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCIC), industri nikel di Morowali dan Konawe, serta sektor energi.
• Namun, ketergantungan investasi ini menimbulkan risiko defisit perdagangan, masuknya produk murah, dan tenaga kerja asing Tiongkok yang menimbulkan kekhawatiran publik.
• Dari sisi keamanan, sengketa Laut Cina Selatan (LCS) menjadi sumber sensitifitas utama. Klaim nine-dash line Tiongkok tumpang tindih dengan ZEE Indonesia di Natuna, memicu sejumlah insiden sejak 2011.
• Walau Indonesia aktif mempromosikan Code of Conduct (COC) di ASEAN, perilaku asertif Beijing tetap menimbulkan dilema antara kepentingan ekonomi dan kedaulatan maritim.
Narasumber kedua, Dr. Mohd Hazmi bin Mohd Rusli, Associate Professor pada Faculty of Syariah and Law, Universiti Sains Islam Malaysia (USIM) mengangkat tema The Implications of Maritime Law on the Indonesia–China Region dengan fokus pada relevansi Konvensi Hukum Laut PBB (LOSC) terhadap Selat Malaka dan Singapura, dua jalur pelayaran strategis dunia. Dalam paparannya, Dr. Hazmi menyampaikan analisis komprehensif mengenai implikasi United Nations Convention on the Law of the Sea (LOSC) terhadap rezim navigasi di Selat Malaka dan Singapura yang menjadi jalur utama perdagangan antara Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan. Ia menyoroti bahwa sejak pemberlakuan klaim wilayah 12 mil laut oleh negara-negara pantai, tidak lagi tersisa koridor laut lepas di selat tersebut.
Isu Utama yang Disoroti
• Rezim transit passage yang selama ini menjamin kebebasan navigasi internasional dianggap terlalu liberal dan mengurangi kontrol negara pantai.
• Dr. Hazmi mengusulkan recharacterization menjadi rezim non-suspendable innocent passage, yang memungkinkan Indonesia dan Malaysia menetapkan pengawasan lebih ketat terhadap kapal yang melintas, terutama kapal selam bertenaga nuklir.
• Dalam konteks keselamatan lingkungan, beliau menyoroti fakta bahwa terdapat sembilan kapal selam nuklir tenggelam di seluruh dunia yang menjadi ancaman karena membawa bahan radioaktif berumur panjang.
• Sistem pemantauan maritim terintegrasi, penggunaan teknologi satelit, dan kolaborasi antar lembaga diperlukan untuk mencegah insiden serupa di Asia Tenggara.
Dr. Hazmi menegaskan bahwa LOSC harus dipahami sebagai dokumen hidup (living instrument). Ketentuan yang dirumuskan pada 1970-an tidak sepenuhnya menjawab kompleksitas maritim masa kini yang melibatkan teknologi nuklir, AI, dan ancaman lingkungan global. Ia menyebut contoh praktik negara lain, seperti Kanada dan Australia, yang berhasil menerapkan pengawasan khusus pada selat strategis tanpa melanggar hukum internasional.
Kesimpulan, diskusi menegaskan bahwa keamanan maritim Indonesia tidak dapat dipisahkan dari dinamika geopolitik kawasan, terutama antara kepentingan hukum laut internasional dan pengaruh ekonomi-politik Tiongkok.
Kedua narasumber sepakat bahwa Indonesia perlu memperkuat sinergi lintas lembaga maritim (BAKAMLA-RI, TNI AL, Kemenhub, KKP, dan Polairud) untuk memastikan penegakan hukum laut yang efektif; penggunaan teknologi pemantauan modern seperti satelit, Maritime Domain Awareness (MDA), dan kecerdasan buatan (AI) untuk memperkuat deteksi dini ancaman laut; dan kemandirian kebijakan luar negeri dan ekonomi maritim, agar kerja sama internasional tidak menimbulkan ketergantungan strategis.
Kegiatan Kuliah Pakar diakhiri dengan penyerahan sertifikat kepada para narasumber dan sesi foto bersama seluruh peserta. Acara penutupan secara resmi disampaikan oleh Kolonel Laut (E) Dr. Lukman Yudho Prakoso, S.I.P., M.A.P., CIQaR., M.Tr.OPSLA., IPU., (Kaprodi Keamanan Maritim Fakultas Keamanan Nasional, UNHAN RI), menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya kegiatan ini serta menegaskan komitmen UNHAN-RI untuk terus menjadi pusat kajian strategis di bidang keamanan maritim, yang tidak hanya adaptif terhadap perkembangan teknologi global, tetapi juga berorientasi pada kepentingan nasional dan ketahanan maritim Indonesia.