Jakarta, 10 Oktober 2025 – Program Studi Ketahanan Pangan, Fakultas Keamanan Nasional, Universitas Pertahanan Republik Indonesia (Unhan RI) menyelenggarakan kuliah pakar bertema “Ketahanan Pangan dan Gizi Nasional: Sinergi Kebijakan untuk Mewujudkan Masyarakat Sehat dan Berdaya Saing”. Kegiatan ini menghadirkan dua narasumber utama yaitu Ibu Rina Syawal, Direktur Penganekaragaman Konsumsi Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas), dan Prof. Dr. Ir. Dadan Hindayana, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN). Acara dipandu oleh Ir. Farid Bayu Murti dan diikuti oleh dosen, mahasiswa, serta praktisi pangan nasional.
Dalam sambutannya, Kolonel Laut (KH) Dr. Panji Suwarno, SE, M.Si, CIQnR., selaku Kaprodi Ketahanan Pangan, menegaskan bahwa ketahanan pangan tidak semata-mata tentang produksi, tetapi juga tentang akses, pemanfaatan, dan stabilitas yang berujung pada status gizi masyarakat. Menurutnya, sinergi antara kebijakan pangan dan gizi menjadi kunci dalam menciptakan sumber daya manusia unggul dan produktif. “Keterkaitan antara kebijakan pangan dan gizi merupakan fondasi bagi pembangunan bangsa yang sehat dan berdaya saing,” ujarnya dalam sambutan pembuka.
Pangan Lokal Jadi Pilar Ketahanan Nasional
Dalam sesi pertama, Ibu Rina Syawal menyoroti pentingnya optimalisasi pangan lokal sebagai bagian dari strategi ketahanan pangan nasional. Ia menjelaskan bahwa Indonesia memiliki keragaman sumber pangan yang besar, namun belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat. Badan Pangan Nasional, katanya, berupaya mendorong pola konsumsi Beragam, Bergizi, Seimbang, dan Aman (B2SA) melalui kampanye seperti Isi Piringku serta berbagai program seperti penyusunan neraca pangan, penguatan cadangan pangan pemerintah, dan pelaksanaan Gerakan Pangan Murah (GPM).
Ibu Rina juga menegaskan bahwa tantangan ketahanan pangan di Indonesia masih kompleks, mulai dari alih fungsi lahan, petani yang menua, hingga perubahan iklim dan inflasi pangan. Berdasarkan data Badan Pangan Nasional, sekitar 8,47% penduduk atau 23,85 juta jiwa masih berada di bawah ambang kebutuhan energi minimum, dan 62 kabupaten dikategorikan rawan pangan, terutama di wilayah 3T. Ia menekankan bahwa pemerintah terus berupaya menekan kesenjangan akses pangan melalui digitalisasi sistem distribusi, penerapan teknologi pascapanen, dan edukasi publik untuk mengurangi food loss and waste. “Kedaulatan pangan harus dibangun dari bawah, dengan memanfaatkan potensi lokal dan memperkuat nasionalisme masyarakat perbatasan,” ungkapnya.
Program “Makan Bergizi Gratis” Jadi Terobosan Nasional
Sesi kedua menghadirkan Prof. Dr. Ir. Dadan Hindayana, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), yang memaparkan Program Strategis Nasional “Makan Bergizi Gratis (MBG)”. Ia menjelaskan bahwa program ini merupakan bentuk investasi jangka panjang pemerintah dalam membangun sumber daya manusia yang unggul dan sehat. Program MBG menargetkan 82,9 juta penerima manfaat dari kalangan ibu hamil, balita, dan pelajar, dengan fokus pada dua fase krusial yaitu 1.000 hari pertama kehidupan dan usia 8–18 tahun.
Program MBG dilaksanakan melalui Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang tersebar di berbagai daerah. Setiap unit SPPG melayani sekitar 3.000 penerima manfaat dan memanfaatkan hingga 99% bahan pangan lokal. “Model ini bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan gizi, tetapi juga menciptakan permintaan baru terhadap hasil pertanian, peternakan, dan perikanan lokal,” ujar Prof. Dadan. Ia menambahkan bahwa hingga saat ini telah terbentuk lebih dari 11.200 unit SPPG, dan ditargetkan mencapai 30.000 unit di seluruh Indonesia. Program ini, lanjutnya, telah memberikan dampak ekonomi yang luas, mulai dari meningkatnya permintaan bahan pangan lokal hingga tumbuhnya industri pendukung seperti alat makan dan bahan bangunan.
Sinergi Akademisi dan Pemerintah Dukung Ketahanan Gizi Nasional
Dalam sesi diskusi, sejumlah akademisi dan peserta memberikan beragam pandangan konstruktif. Ibu Bellinda dari Ombudsman RI menegaskan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan program gizi nasional. Sementara itu, Mayjen TNI Dr. Rachmat Setiawibawa, Dekan Fakultas Keamanan Nasional, menyampaikan apresiasi atas sinergi antara BGN dan Unhan yang dinilai penting dalam memperkuat kebijakan ketahanan pangan dan gizi nasional.
Partisipan lain seperti Hishom, M. Sholeh (KTNA), dan Prof. Lienda Aliwarga menyoroti isu food loss, sertifikasi penyuluh pangan, serta perlunya pelibatan mahasiswa dalam penyusunan menu berbasis pangan lokal. Prof. Dadan menyambut baik semua masukan tersebut dan menegaskan bahwa BGN terbuka untuk kolaborasi riset dan inovasi dengan institusi pendidikan tinggi, termasuk Universitas Pertahanan RI. “Ketahanan pangan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi gerakan nasional yang melibatkan semua pihak,” tegasnya.
Kegiatan ditutup dengan pernyataan reflektif dari Prof. Dadan yang mengutip pesan Presiden bahwa “Kemandirian adalah kehidupan bangsa, dan tidak ada peradaban tanpa pangan yang terjamin.” Ia menekankan bahwa Program Studi Ketahanan Pangan di Unhan memiliki peran strategis dalam mendukung kebijakan pertahanan negara berbasis kemandirian pangan. Universitas Pertahanan RI berkomitmen untuk terus memperkuat kolaborasi dengan lembaga pemerintah dan masyarakat dalam membangun sistem pangan dan gizi nasional yang berdaulat, mandiri, dan berkelanjutan.
Dengan terselenggaranya kuliah pakar ini, diharapkan tercipta pemahaman yang lebih komprehensif mengenai hubungan erat antara kebijakan pangan, gizi, dan ketahanan nasional. Kolaborasi lintas sektor antara akademisi, pemerintah, dan masyarakat menjadi fondasi penting dalam mewujudkan Indonesia yang tangguh, sehat, dan berdaya saing menuju Indonesia Emas 2045.